ACEH, TOPKOTA.co – Sejumlah eks kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ” berang ” atas keputusan keputusan Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian yang mengubah 4 pulau di Aceh Singkil, Provinsi Aceh masuk ke wilayah Sumatera Utara.
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, menyatakan Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Ketek, dan Pulau Mangkir Gadang masuk wilayah Sumut setelah sebelumnya berada di Aceh.
Mereka menilai hal ini sebagai bentuk pelecehan terhadap perjanjian damai Helsinki dan kedaulatan wilayah Aceh yang telah disepakati.
Dan juga menilai Pemerintah Pusat, khususnya Kementerian Dalam Negeri di bawah pimpinan Tito Karnavian telah mengkhianati Aceh.
Salah satunya mantan Komandan Bom GAM yang kini menjabat sebagai senator DPD RI, Azhari Cage dengan tegas menolak keputusan sepihak oleh Kemendagri.
Ia menyebut keempat pulau tersebut adalah murni milik Aceh dan tidak bisa dikelola bersama sebagaimana diusulkan oleh Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution.
Azhari secara tegas mengatakan pemerintah Aceh harus mempertahankan kedaulatan wilayah alih-alih berkompromi untuk dikelola bersama.
“Ini adalah perlakuan kesewenang-wenangan pemerintah pusat terhadap Aceh,” ujar Azhari Cage kepada para wartawan di Jakarta. “Ini adalah harga diri marwah Aceh,” sambungnya.
Menurut Azhari, Pemerintah Aceh tidak boleh diam saja dan harus diprotes keras dan dikembalikan ke Aceh. “Saya sebagai senator Aceh yang lahir dari daerah dan wajib berjuang untuk kepentingan daerah. Saya sangat menyesalkan hal ini,” paparnya.
Azhari yang pernah menjadi petugas penghubung, komandan pleton, bahkan dipercaya menjadi komandan operasi.
Ia juga pernah menjadi komandan bom karena sering ditugasi melakukan peledakan bom, menekankan agar tak ada lagi konflik soal perbatasan seperti yang sudah terjadi.
” Jangan sampai ini sekarang setelah damai MoU Helsinki 2005 ini kembali bermasalah dengan perbatasan. Yang jelas-jelas perbatasan tidak ada persoalan apapun,” katanya.
Azhari Cage curiga Tito Karnavian memang sengaja membenturkan Aceh dengan Sumut.
“Sehingga saya khawatirkan Mendagri membenturkan Sumut dengan Aceh, nanti terjadi konflik horizontal antara masyarakat Sumut dengan Aceh, kan bikin gaduh. Itu yang tidak kita inginkan,” katanya.
Pemerintah Provinsi Aceh memiliki banyak bukti kepemilikan Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan dan Pulau Panjang.
Namun Pemerintah Provinsi Sumatera Utara menurut Azhari hanya memiliki bukti dalam bentuk Perda RTRW tahun 2013.
“Sedangkan kami berbicara sudah turun ke lapangan melihat pulau yang sudah puluhan tahun, bukti tugu, monumen, prasasti yang dibangun tahun 2012. Kan jauh sebelum itu,”
“Belum lagi peta wilayah, surat tanah dan dokumen peta kolonial Jerman juga memuat tentang pulau itu 1853 bahwa itu milik Aceh,” tegasnya.
Sedangkan, Mantan Sekretaris Jenderal Tahanan Politik/Narapidana Aceh dan eks kombatan GAM Wilayah Peureulak, Faisal Rizal Hasan, mengecam Keputusan Mendagri yang memasukkan empat pulau milik Aceh ke dalam wilayah Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
Ia menilai kebijakan tersebut keputusan melanggar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Selain itu juga dibuat tanpa persetujuan presiden maupun konsultasi dengan DPR Aceh dan DPD RI dapil Aceh, meski menyangkut kebijakan strategis berdampak luas.
Karena itu, Faisal mendesak Presiden Prabowo Subianto segera mengambil alih dan membatalkan keputusan kontroversial itu.
“Ada empat opsi hukum yang bisa ditempuh, yakni penerbitan Perpres atau UU pembatalan oleh Presiden, Perppu dalam kondisi darurat, pencabutan oleh Mendagri sendiri, atau pembatalan melalui pengadilan,” kata Faisal, Kamis (12/6/2025).
Faisal juga menolak saran Kemendagri agar Gubernur Aceh menempuh jalur hukum dengan menggugat keputusan tersebut ke PTUN.
“Ini tanggung jawab pemerintah pusat, bukan masalah regional yang harus diselesaikan Aceh sendiri,” tegasnya.
Keputusan ini, lanjut Faisal, juga dinilai mengkhianati semangat MoU Helsinki tentang otonomi khusus Aceh.
Faisal memperingatkan kebijakan sepihak seperti ini berpotensi memicu ketidakpercayaan dan mengganggu stabilitas nasional.
Sebagai solusi, Faisal mendesak Presiden mengambil tindakan tegas, termasuk kemungkinan pemberhentian Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian jika terbukti menyalahgunakan kewenangan. (Ayu)