MEDAN, TOPKOTA.co – Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso menilai Tim Khusus Internal Polri kasus polisi tembak polisi di rumah Irjen Ferdy Sambo merupakan tantangan menjaga marwah institusi dan menyelamatkan Polri dari hujatan masyarakat.
“Oleh karena itu, setiap anggota tim harus mempertanggungjawabkan sumpahnya selaku bhayangkara negara untuk benar-benar konsisten menegakkan hukum sesuai fakta sebenarnya,” ujar Sugeng, melalui keterangan tertulisnya, Rabu (27/7/2022).
Sebab menurutnya, kasus tewasnya Brigpol Nopryansah Yosua Hutabarat yang ditembak oleh rekannya sesama ajudan Bharada Richard Eliezer, menjadi perhatian masyarakat luas karena terjadi di rumah petinggi Polri.
“Munculnya, banyak kejanggalan yang diungkap oleh pihak Polri, mulai dari ditutup rapatnya kasus selama tiga hari sejak Jumat (8/7/2022) ke hari Senin (11/7/2022), hingga hilangnya HP Yosua dan rusaknya CCTV di lokasi, menjadi pertanyaan para tokoh masyarakat di DPR, LSM hingga Presiden Joko Widodo,” sambungnya.
Bahkan kata Sugeng, Presiden Jokowi telah tiga kali mengingatkan kepada Kapolri, bahwa kasus itu jangan ditutup-tutupi, diproses hukum dan terbuka. Terakhir pesan Presiden diucapkan di Pulau Rinca Taman Nasional Komodo Kabupaten Manggarai Barat Propinsi Nusa Tenggara Timur, Kamis (21/7/2022).
“Sayakan sudah sampaikan, usut tuntas, buka apa adanya, jangan ditutup-tutupi, transparan,” kata Sugeng menirukan ucapan Presiden Jokowi, sambil menasehati bahwa kepercayaan publik terhadap Polri harus dijaga.
Menjaga marwah institusi Polri dan menjaga kepercayaan publik terhadap Polri, menurut Indonesia Police Watch (IPW) harus dilakukan para senior-senior anggota Polri. Utamanya, yang masuk di jajaran Tim Khusus Internal yang dibentuk Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang menunjuk Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono sebagai Penanggung Jawab Tim Khusus Internal. Komjen Gotot Eddy merupakan lulusan Akpol 1988.
Sementara, Ketua Tim Khusus ditunjuk anggota yang lebih senior lagi, yakni Irwasum Komjen Agung Budi Maryoto yang merupakan lulusan Akpol 1987 dan yang sebentar lagi pensiun. Sedang anggota lainnya yaitu Kabareskrim Komjen Agus Andrianto (Akpol 1990), Kabaintelkam Komjen Ahmad Dofiri (Akpol 1989 dan peraih Adhi Makayasa), serta Asisten SDM Polri Irjen Wahyu Widada (Akpol 1991 dan peraih Adhi Makayasa).
“Oleh karena itu, dengan kekuatan Tim Khusus Internal kasus polisi tembak polisi yang diisi oleh para senior dan anggota Polri terbaik peraih Adhi Makayasa, seharusnya tidak ada keraguan untuk menyelamatkan institusi dari tangan-tangan kotor yang mencoreng Polri,” tegas Sugeng lagi.
Sehingga, siapa pun yang terlibat menyimpang dari penanganan kasus polisi tembak polisi tersebut, harus ditindak dan diperiksa tanpa keraguan. “Kalau ada pelanggaran disiplin dan kode etik maka harus diselesaikan melalui sidang disiplin dan sidang etik. Sedang kalau ada dugaan pidananya, maka Tim Khusus Internal meneruskannya melalui Bareskrim Polri. Dengan begitu, maka kepercayaan publik akan terbangun kembali dari merosotnya citra Polri yang disebabkan oleh aksi polisi tembak polisi di rumah pejabat utama Polri itu,” urai Sugeng.
Sebab lanjutnya, sejak awal kasus ini dikonstruksikan oleh Mabes Polri bahwa dari aksi polisi tembak polisi itu tidak ada yang dapat dihukum. Karena, pelaku yang menembak, yaitu Bharada Richard Eliezer melakukan pembelaan diri karena Putri, istri Kadiv Propam saat itu Irjen Ferdy Sambo, diancam dan dilecehkan oleh Brigpol Yosua. Sehingga terjadinya tembak menembak yang menyebabkan kematian Yosua sebagai pembelaan diri.
Pembelaan diri ini secara gamblang dijelaskan oleh Kapolres Metro Jakarta Selatan dan disampaikan lagi oleh Karopenmas Div Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan saat konferensi pers pertamanya, Senin (11/7/2022). Hal tersebut diperjelaskan karena adanya dua laporan polisi tentang pencabulan serta pengancaman dan percobaan pembunuhan yang dijerat dengan pasal 335 KUHP, 289 KUHP.
Secara detail Sugeng menguraikan, masyarakat dan juga IPW menilai banyak kejanggalan dengan kasus polisi tembak polisi tersebut. Kejanggalan itu antara lain, pada saat olah tempat kejadian perkara (TKP). Pertama, tidak adanya police line di rumah Irjen Ferdy Sambo. Padahal fungsi police line ini, untuk melarang siapapun masuk ke TKP kecuali penyidik dan petugas polisi lain yang ditunjuk agar keaslian TKP tetap terjaga guna kelancaran penyidikan selanjutnya.
Dipasangnya police line ini telah diatur pada Surat Keputusan Kapolri No.Pol: Skep/1205/IX/2000 tanggal 11 September 2000 tentang Bujuklap, Bujuknis dan Bujuk administrasi tentang Proses Penyidikan Tindak Pidana. Dijelaskan dalam skep tersebut bahwa police line merupakan bagian alat yang harus ada.
Nyatanya, perlakuan memberikan police line itu sangat berbeda ketika Tim Khusus Internal dibentuk dan langsung melakukan Olah TKP. Pelaksanaan yang dipimpin oleh Kabareskrim Komjen Agus Andrianto yang masuk ke rumah Irjen Ferdy Sambo sebagai TKP pada Selasa (12/7/2022) malam. Saat itu, anggota Polri melaksanakan police line terlebih dulu. Demikian juga saat beberapa kali Tim Khusus melakukan pendalaman di TKP. Bahkan, hingga kini police line tetap terpasang di rumah Irjen Ferdy Sambo.
Kejanggalan kedua, tentang tidak adanya pemotretan dan sketsa. Pemotretan dilakukan agar dapat mengabadikan situasi atau keadaan TKP termasuk korban dan barang bukti lain pada saat diketemukan. Disamping bertujuan memberikan gambaran nyata situasi kondisi TKP, pemotretan sangat erat dengan identifikasi dan kedokteran forensik
Sementara, dalam pembuatan sketsa digunakan untuk menggambarkan situasi atau keadaan TKP seteliti mungkin guna kepentingan rekonstruksi di kemudian hari. Termasuk menampilkan barang-barang bukti yang ditemukan. Tanpa adanya berita acara pemotretan dan sketsa, maka rekontruksi yang akan dilakukan menjadi bias.
Baik pemotretan maupun sketsa ini, tidak ditampilkan oleh pihak Polri saat mengumumkan kejadian perkara atas tewasnya Brigpol Yosua, termasuk jenis senjata, nomor register senjata dan kaliber peluru yang telah ditemukan. Sehingga, masyarakat menilai ada banyak kejanggalan dalam kasus tersebut.
Kejanggalan ketiga, karena penanganan pertama kasus tewasnya Brigpol Yosua tersebut sudah terjadi kejanggalan-kejanggalan. Hingga jenazah tidak boleh dibuka dan akhirnya ditemukan ada sayatan, maka keluarga dan kuasa hukumnya meminta dilakukan otopsi ulang. Kapolri menyepakati diadakannya outopsi ulang pada hari Rabu (27/7/2022) ini, dengan melibatkan ahli-ahli yang netral dari Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI).
“Dengan adanya outopsi ulang pada hari ini (27/7/2022) dengan melibatkan Forensik Dokkes, ahli Forensik independen dari Persatuan Dokter Forensik Indonesia (PDFI) serta dokter forensik dari TNI yang dijamin kenetralannya oleh Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa, diharapkan kasus tersebut mendapatkan kebenaran materil. Karena dilakukan melalui Scientific Crime Investigation, sehingga kasusnya terkuak dan menemukan tersangkanya,” harap Sugeng.
Pada sisi lain lanjutnya, IPW menyoroti penanganan kasus pelecehan seksual dan pengancaman (289 KUHP dan 335 KUHP) oleh Polda metro Jaya, dapat menimbulkan potensi kesimpulan yang berbeda bila tidak ditarik penanganannya oleh Bareskrim Polri yang juga sedang menangani kasus laporan pembunuhan berencana, pembunuhan dan penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang. Pasalnya, kasus ini adalah peristiwa pidana yang sama, yaitu memeriksa matinya Brigpol Yosua.
“Dengan penanganan yang terbuka, akuntabel, transparan serta tidak diarahkan melindungi dan menutup kesalahan pihak-pihak tertentu, akan memenuhi rasa keadilan masyarakat dan akan meningkatkan kepercayaan masyarakat pada Polri. Akan tetapi bila sebaliknya, maka dugaan publik, yakni hukum tajam ke bawah tumpul ke atas, seperti juga disinyalir Kapolri jenderal Sigit Listryo Pravowo saat fit and proper test pada januari 2021 di depan DPR RI benar adanya,” ujar Sugeng mengakhiri. (Ayu)