SERGAI, TOPKOTA.co – Johan Wijaya terdakwa kasus pencabulan anak kandung di Pengadilan Sei Rampah membantah melakukan pencabulan. Ia justru menuduh kasus ini telah direkayasa.
“Dugaan pencabulan terhadap anak kandung yang dituduhkan Happy kepada saya setelah rumah tangga hancur. Tuduhan tersebut adalah rekayasa karena sudah terjadi konflik keluarga sebelumnya. Happy juga sudah melaporkan berbagai kasus sebelumnya, namun tidak terbukti. Kemudian Happy juga membuat laporan terkait dugaan pencabulan ini,” Ujar Johan, kemarin.
Lanjut Johan, sebelumnya Happy juga sudah pernah berupaya memfitnah dirinya atas tuduhan kekerasan dalam rumah tangga, namun diakuinya bahwa laporan itu tidak benar sembari menunjukkan bukti suratnya. Dikatakan Johan, bahwa hal itu dibuat karena tidak ada realisasi atas keinginan Happy seperti yang dinyatakan dalam chat WhatsApp tertanggal 31 Desember 2018.
“bahwa semua keuangan harus dipegang dan semua surat diatas namakan kepadanya. Bukan hanya itu saja, Happy juga membawa visum anak tanggal 30 Januari 2019, sementara anak sudah dibawa pergi 1 bulan lebih oleh Happy sejak tanggal 20 Des 2018. Hal itu sudah menjadi tanggungjawab dia (Happy) dan ada kemungkinan hal itu dibuat mereka untuk menuduh saya,” ungkap Johan.
Sedangkan dalam keterangan chatWA Happy tanggal 31 Desember 2018 lanjut Johan, Happy masih menyatakan anak masih dalam keadaan sempurna setelah anak di luar pengawasan Johan. Menyedihkan lagi hasil dari tes Psikiater anak yang menyatakan anak takut dengan ayahnya, menurut Johan tidak benar. Sementara Happy sendiri masih menyatakan anak senang mendengar papinya mau datang saat itu dalam keterangan chatWA nya tanggal 26 Desember 2018.
“Anak saya di doktrin dan diajari berbohong untuk menuduh saya,” beber Johan sembari mengatakan saat ini, dirinya tidak diizinkan menjenguk anaknya.
Johan juga menjabarkan, dalam pengakuan anak saat diminta keterangan bagaimana dicabuli, ternyata sang anak menyatakan tidak tahu, karena saat itu dia lagi mengantuk dan tertidur. Sementara keterangan para saksi yang merupakan anggota keluarga mereka (ibu,bibi dan Happy sendiri) mampu menjelaskan secara terperinci adegan pencabulan.
“Dalam hal mengenai kapan saksi hanya bisa menduga – duga kejadian tersebut seolah olah terjadi sekitar Februari 2017 saat anak berumur 2 tahun. Dalam hal tanggal kejadian saja sudah terlihat sebuah kejanggalan dan terkesan seakan akan sebuah rekayasa untuk menghancurkan ku,” sebut Johan.
Selanjutnya, dengan alasan sang anak baru berani bercerita ketika tidak lagi bersama ayahnya karena ancaman ayahnya, menurut Johan sangat tidak masuk akal seorang anak bayi 2 tahun bisa menahan dan menyimpan perasaan tersebut.
“Saya juga telah menghadirkan saksi penjaga anak, Guru Vihara, kerabat dan bibi anak yang menyatakan anak tidak pernah mengeluhkan sakit serta tidak pernah ada perubahan prilaku pada anak, dan tidak pernah takut dengan ayahnya selama ini. Dan kemudian tes psikiater saya yang menyatakan tidak ada kelainan seksual dari Rumah Sakit Bhayangkara Medan dan Rumah Sakit Methodist Medan,” ungkapnya.
Menanggapi hal ini, Happy mengatakan ia hanya ibu rumah tangga biasa yang memiliki mimpi hidup berkeluarga dengan baik dan tenang. “Saya tidak punya kemampuan untuk merekayasa bukti-bukti, apalagi visum dokter,” kata Happy, kemarin.
Menurutnya, pencabulan itu baru diketahuinya sebulan setelah ia dan anak-anak diusir Johan Wijaya dan mertuanya. Semula ia tak percaya, namun putrinya yang saat itu berusia 3 tahun dengan kalimat-kalimat terpatah-patah menceritakan apa yang dialaminya.
Happy dan ibunya kemudian mem’flasback’ kembali ingatan mereka. Happy paham betul bagaimana perilaku Johan yang sangat gemar nonton film dewasa. Ia juga teringat bagaimana tidak ada satupun pembantu yang tahan bekerja dengan mereka. Sayangnya semua rekaman cctv di rumah mereka dirusak Johan.
“Setelah yakin, kami laporkan pencabulan itu dan kemudian putri saya divisum di RS Bhayangkara Tebing Tinggi,” jelasnya.
Hasil visum menunjukan ada luka lama dan berulang-ulang di kemaluan putrinya. Semula ia sangat berharap hasilnya tidak apa-apa. Namun begitu tahu, nyawanya seakan melayang. “Habis semua airmata saya mendengar hasil visum, tubuh ini rasanya sudah tak bertulang, lemas. Betapa teganya ia berbuat itu pada putri kandungnya sendiri. Cukup saya yang merasakan penderitaan hidup dengannya. Namun ia telah merusak masa depan anaknya sendiri. Biadab,” kata Happy.
Lanjutnya, Ibu Irna Minauli yang langsung menangani terapi anaknya. “Menurutnya, putri saya mengalami trauma berat dan harus diterapi terus menerus,” ujarnya.
Beruntung saat itu Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) membantu membiayai perobatan psikologi putri Happy. Memang sejak diusir, Happy dan anak-anaknya harus menumpang hidup dengan ibunya.
Ia diusir hanya dengan baju yang melekat dibadan, setelah sebelumnya terpaksa dirawat di rumah sakit di Lubuk Pakam karena dianiaya oleh kedua mertua dan abang iparnya. Untuk kasus ini kedua mertua dan abang iparnya telah dijatuhi vonis 3 bulan oleh PN Sei Rampah karena terbukti mengeroyok dan aniaya.
“Ibu Irna juga sudah memberikan kesaksiannya di pengadilan, bagaimana putri saya trauma akibat perbuatan Johan. Bagaimana mungkin bisa saya merekayasa ini?,” kata Happy lagi. (End)