MEDAN, TOPKOTA.co – Sarinah Siregar (50), Anak dari pasangan suami istri Almarhum Marasutan Siregar dan Almarhumah Siti Maun Br Harahap, mengaku kecewa dengan tindakan Abang dan kakak kandungnya. Pasalnya sebidang tanah warisan dari orang tua mereka yang terletak di Jl. Rahayu, GG.Famili, Kel. Bantan, Kecamatan Medan Tembung saat ini dipersoalkan karena adanya campur tangan pihak cucu. Padahal sudah secara resmi dan sah atas hukum, tanah tersebut dikuasakan Mama kandungnya kepada dirinya untuk menjaga keutuhan tanah warisan tersebut dari hal-hal yang tak diinginkan.
“Sebelum meninggal dunia Mama kandung saya sudah memberi kuasa kepada saya terkait tanah warisan keluarga kami. Surat kuasa tersebut sah secara hukum dibuat didepan notaris. Karena mungkin saat itu Mama kandung kami mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan terjadi, kalau dirinya telah tiada”, jelas Sarinah, kepada wartawan, pada Sabtu (11/5/2024).
Satu hal, ungkap Sarinah, walaupun dirinya sebagai pemegang kuasa penuh atas tanah tersebut, namun dia tidak kefikiran untuk menguasai tanah warisan tersebut, karena memang masih ada kakak serta Abang kandung yang juga berhak atas tanah warisan tersebut.
“Walaupun saya pemegang kuasa penuh, baik untuk menjual ataupun menyewakan lahan tanah tersebut, tetapi saya tidak berniat menguasai nya, karena memang amanah Mama kandung kami sebelum meninggal dunia, bahwasanya tanah warisan tersebut harus dibagi kepada enam orang, yakni dua kakak kandung saya atas nama Tiolina Siregar dan Juriah Siregar beserta tiga Abang kandung saya atas nama Pahruddin Siregar, Zainal Abidin Siregar dan Zainul Arifin Siregar”, jelas Sarinah.
Diceritakan Sarinah, pernikahan Ayah kandung dan Mama kandungnya dahulu berstatus gadis dan duda anak dua. “Saat menikah dahulu, Ayah saya duda anak dua sedangkan Mama saya gadis”, ungkapnya.
Ayah saya bernama Marasutan Siregar, yang ditinggal istrinya meninggal dunia, punya anak dua bernama Syarifuddin (Surip) dan Murni dan menikah dengan Mama saya bernama Siti Maun Harahap dengan status gadis. Setelah menikah mereka tinggal di Wilayah Sipirok.
Selanjutnya mereka pindah ke Medan karena ajakan dari sanak saudara yang sudah terlebih dahulu tinggal di Medan bernama Almarhum Hajoran Siregar dan Almarhumah Mintha Dalimunthe. Dengan cara menyewa rumah dan untuk bertahan hidup yang mencari nafkah adalah Mama kandung saya dengan cara berjualan ayam, buah buahan dan sayuran di pasar untuk membesarkan kami. Sedangkan ayah kami seorang pengangguran yang hanya mengharapkan dari penghasilan Mama.
Setelah beberapa tahun tinggal di Medan kedua orang tua saya mendengar ada tanah mau dijual yakni di Jalan Rahayu, Gang Family. Dan pada saat itu Mama saya membeli tanah tersebut dengan cara menjual rantai dan cincinnya yakni bawaan dia dari gadis, namun uang dari hasil penjualan perhiasan Mama kami masih kurang, kemudian Mama berinisiatif pulang ke kampung dan meminta uang kepada ayahnya untuk meminta tambahan uang guna membeli tanah tersebut.
Singkat cerita pada Tahun 2001, sekira berumur 70 an tahun Ayah saya meninggal dunia karena sakit yang dideritanya. Setelah kepergian ayah, pada suatu hari mama mengumpulkan kami, anak kandungnya. Anak dari pernikahannya dengan Almarhum Ayah kami, ada enam orang.
Disitu mama saya menceritakan bahwasanya dulu semasa saya kecil tanah yang ditempati oleh kak Murni alias Anak Tiri dari pada Mama saya, dijual untuk membayar hutang si Surip (anak bawaan ayah kami) kepada marga Situmorang. Pembelinya salah seorang suku Batak. Kemudian si Murni pindah dari tanah Mama kami yang sudah dijual tersebut, dan kabarnya dia membangun rumah di atas tanah mertuanya, bagian dari suaminya. Namun dari selentingan yang saya dengar mama saya memberi uang kepada si Murni dan diduga uang tersebut dipakainya untuk membangun rumah diatas tanah mertuanya, karena memang suami si Murni hanya seorang supir angkutan umum, kalau di Medan namanya sudaco.
Karena umur Mama kami semakin hari semakin tua, kami selaku anak-anak kandungnya juga pernah dikumpulkan, saat itu mama kami mengatakan dia berniat untuk pergi Umroh, hingga mama kami berencana akan menjual tanah tersebut, namun si Surip (anak bawaan ayah kami) merasa keberatan karena dia juga menumpang hidup diatas tanah milik mama kami itu, sehingga terjadi keributan besar, hingga akhirnya saya keberatan dengan sikap anak tiri mama kami itu, hingga akhirnya saya memutuskan tidak lagi berhubungan dengan si Surip dan anak – anaknya.
Satu hal, karena surat tanah Ibu kami tersebut SK Camat dan kondisinya sudah buruk dimakan rayap, maka kami sekeluarga sepakat untuk menggantikan surat tersebut. Saya sempat menemui Camat Namun kata Camat tidak bisa karena mereka sudah tidak bisa lagi mengeluarkan surat SK camat yang selanjutnya Camat mengarahkan saya untuk pergi ke notaris karena memang pihak notaris yang notabenenya membidangi pembuatan surat tanah.
Lalu kami sekeluarga sepakat mendatangi salah satu notaris di Kota Medan, tepatnya pada hari Sabtu tanggal 22 Desember 2019, guna memperbarui surat tanah tersebut, dan dihadapan notaris kami sekeluarga anak kandung serta mama kami secara sah menandatangani pengurusan surat tanah tersebut.
Karena usia mama yang sudah hampir mencapai 80 tahun, notaris saat itu mengatakan surat tanah tersebut tidak bisa dibuat atas nama Ibu kami, maka mama kami menunjuk/menguasakan kepada saya selaku anak paling kecil (bungsu), untuk bertanggung jawab menjaga sekaligus mengantisipasi adanya pihak yang bertujuan menguasai/merampas tanah warisan orang tua kami tersebut.
Merasa prihatin, melihat kondisi mama kami juga mulai sakit-sakitan, saya kerap menjenguk mama, paling tidak satu Minggu atau dua Minggu sekali, sekaligus membelikan kebutuhan sehari-hari, karena memang mama saya tinggal sendirian dirumahnya.
Rumah tempat tinggal mama persis bersebelahan dengan rumah abang-abang kandung saya. Satu hal saya juga tak tega melihat kondisi rumah mama yang sudah tak layak huni. Apabila turun hujan digenangi air (banjir). Mama juga sudah mulai susah berjalan, hingga suatu hari saya memutuskan membawa Mama untuk tinggal dirumah saya, dengan menggaji salah seorang asisten rumah tangga yang sekaligus bertugas untuk mengurus Mama.
Tidak hanya itu saja, ketika pengurusan surat tanah ke notaris, seluruh biaya saya yang membayar, karena memang saya memaklumi kondisi keuangan abang dan kakak kandung saya memang kurang mampu.
Setelah hampir tiga tahun Mama tinggal dirumah saya, pada suatu hari, tepatnya pada Kamis 17 Agustus 2021 pagi, setelah selesai mandi kondisi Mama tiba-tiba ngedrop, saat itu juga saya telpon abang-abang serta kakak kandung saya, dan saya langsung memanggil bidan berobat yang terdekat dari rumah saya, karena memang kondisi Mama sudah susah berjalan, jadi saya berinisiatif supaya Mama diopname dirumah saja.
Bidan tersebut langsung menyarankan saya membeli tabung oksigen, hingga Mama dipasangi oksigen karena nafasnya sesak, bidan juga memasang inpus. Dan pada siang harinya Kakak serta abang-abang kandung saya tiba dirumah saya dan mereka menangis seraya berdoa melihat kondisi Mama kami tak sadarkan diri.
Setelah beberapa waktu kemudian kondisi Mama berangsur membaik, namun masih tetap menggunakan oksigen, dan susah dibawa bicara.
Namun setelah dua hari bertahan, kemudian pada 19 Agustus 2021, kondisi Mama kembali ngedrop, hingga akhirnya Mama menghembuskan nafas terakhirnya. Saya merasa terpukul dengan kepergian Mama, namun harus tetap tabah, dan menerima dengan ikhlas, serta mendoakan Mama diberi tempat yang terbaik diSisi Allah SWT.
Setelah kepergian Mama, kemudian saya mendapat kabar bahwasanya bang Surip anak bawaan Ayah kami yang notabenenya anak tiri Mama dalam keadaan koma hingga tak sadarkan diri. Dan setelah melalui video call saya berbicara dengan bang Surip, dengan mengucapkan saling memaafkan, kemudian setelah selesai berbicara saya kembali mendapat kabar bahwasanya bang Surip meninggal dunia.
Tetapi anehnya, saat ini anak kandung Almarhum Surip yakni berstatus sebagai cucu mulai mencampuri terkait tanah warisan orang tua kami tersebut, anehnya abang-abang kandung serta kakak saya mendukung ingin menjual tanah warisan orang tua kami tersebut dengan segala cara.
“Pernah suatu hari, Abang kandung saya bernama Pahruddin mengatakan, tanah warisan orang tua kami yang terletak di Jl. Rahayu, GG.Famili, Kel. Bantan, Kecamatan Medan Tembung ada yang mau beli. Kabar tersebut saya terima dari kakak saya Juriah dan Tiolina, sehingga saya mengarahkan kakak serta abang-abang saya, untuk menghadap ke Notaris sebagai prosedur yang sah jual beli, tetapi abang-abang kandung saya tak ada yang datang. Dan ketika itu yang datang hanya dua kakak saya yakni Tiolina dan Juriah beserta saya dan kami bertiga menghadap notaris, ternyata dari situ saya ketahui jual beli yang ditawarkan Abang saya tersebut hanya nihil”, ungkap Sarinah.
Akibat adanya campur tangan pihak cucu yang notabenenya tidak ada hak terhadap warisan orang tua kami, kondisinya semakin ricuh.
“Saya sudah mendapat informasi akurat, bahwasanya sebidang tanah persawahan warisan orang tua kami yang terletak di Sipirok sudah dijual oleh abang-abang serta kakak kandung saya kepada Hadiruddin yang memang selama ini menyewa tanah tersebut kepada Mama kami. Anehnya penjualan tanah warisan tersebut tanpa saya ketahui dan pembayarannya dengan cara dicicil, saya juga sudah mendapat informasi saat ini tanah tersebut sudah dibayar sebesar Rp.25 juta. Namun belakangan saya ketahui sebagian uang Rp.25 juta itu, diberikan kepada pihak cucu bernama Ratna anak Almarhum Surip dengan tujuan membayar pengacara untuk menguasai/menerbitkan surat tanah yang baru yang terletak di Jl. Rahayu, GG.Famili, Kel. Bantan, Kecamatan Medan Tembung, yang notabenenya saat ini atas kepemilikan tanah tersebut secara sah dikuasakan oleh Almarhumah Mama Mama kami kepada saya”, beber Sarinah.
Kembali di ungkapkan Sarinah, terkait tanah warisan orang tuanya yang terletak di Sipirok, dirinya pernah menemui Hadiruddin untuk mempertanyakan mana saja tanah warisan tersebut.
“Saat saya temui bang Hadiruddin di Belawan, dia mengatakan ada tiga Persil tanah warisan orang tua kami di Sipirok, dua diantaranya sudah dijual oleh si Surip dengan alasan untuk biaya menikah, dan saat ini hanya tinggal satu Persil sawah yang saya sewa ini”, jelas Sarinah.
Sarinah menegaskan, dirinya saat ini sudah mendapatkan bukti dan informasi akurat terkait pemicu terjadinya kisruh tanah warisan milik keluarganya tersebut. Dan dalam waktu dekat akan membawa kasus ini keranah hukum sekaligus melaporkan ke pihak berwajib.
“Secara tegas saya sampaikan kepada kakak serta abang-abang kandung saya, seluruh bukti dan informasi sudah saya dapat, dan saya akan membawa kasus ini keranah hukum. Karena dalam hal ini, orang tua kita sudah memberi wewenang dan kuasa penuh kepada saya untuk menjaga keutuhan warisan keluarga. Tetapi intinya saya tidak ada niat sedikitpun untuk menguasainya, karena memang warisan adalah hak keseluruhan anak kandung. Tetapi ketika ada yang mencoba-coba berniat merampas demi mendapat keuntungan pribadi, saya pastikan akan berhadapan dengan hukum”, pungkasnya. (Ayu)