MEDAN, TOPKOTA.co – Ketua Umum PW Jaringan Pemuda dan Remaja Masjid Indonesia (JPRMI) Sumatera Utara Abdul Jalil Ritonga SPd menegaskan, pada dasarnya masyarakat Sumatera Utara telah melaksanakan moderasi beragama sejak dahulu, dan yang sekarang ini hanya mengulang dan mengingatkan agar terus merawat toleransi beragama dengan melaksanakan moderasi beragama.
“Bukan umat Islam saja yang melaksanakan toleransi beragama dan moderasi beragama, tapi semua umat beragama harus merawat dan melaksanakannya,” tegas Ketua Umum PW JPRMI Sumut Abdul Jalil Ritonga SPd saat menjadi pemateri pada diskusi bertajuk Moderasi Beragama di Sumatera Utara yang dilaksanakan oleh PW JPRMI Sumut di Medah, Jumat (30/9) di Medan.
Abdul Jalil menguraikan, istilah “moderasi” berasal dari Bahasa Inggris yaitu kata “moderation”, yang bermakna sikap sedang dan tidak berlebih-lebihan. Dalam bahasa latin, moderation menjadi “moderatio”, yang berarti ke-sedang-an (tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata “moderasi” dengan penghindaran kekerasan atau penghindaran keekstreman.
Istilah untuk moderat atau moderasi dalam Bahasa Arab adalah washattiyah yang bermakna pertengahan. Ibnu Faris dalam karyanya Mu’jam Maqayis al-Lughah, memaknainya dengan sesuatu yang di tengah, adil, baik, dan seimbang.
“Dalam bahasa yang umum digunakan dalam keseharian kita hari ini, wasathiah seringkali diterjemahkan dengan istilah moderat atau bersikap netral dalam segala hal. Terminologi wasath -atau dalam bentuk Sifat musyabbahah-nya dibaca wasith ini- kemudian diadobsi oleh bahasa Indonesia dengan sebutan “wasit”, yaitu orang yang menengahi sebuah pertandingan antara dua kubu atau kelompok dalam sebuah pertandingan sepakbola, voli dan lain sebagainya,” jelas Abdul Jalil.
Jadi, tambah Abdul Jalil, apabila istilah moderasi digabungkan dengan agama dan sikap dalam beragama maka menjadi moderasi beragama yang bermakna “Sikap mengurangi kekerasan, atau menghindari keekstreman dalam praktik beragama”. Istilah ini merujuk kepada sikap dan upaya menjadikan agama sebagai dasar dan prinsip untuk selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem dan selalu mencari jalan tengah yang menyatukan dan membersamakan semua elemen dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa Indonesia.
Jalil menyebutkan, dalam beragama kita tidak boleh terlalu “ekstrim” baik ke kiri ataupun ke kanan. “Apalagi dalam konteks keindonesiaan yang multi kultur dan plural, moderasi menjadi sebuah keniscayaan,” urainya lagi.
Sementara itu, pemateri kedua Afri Darmawan menyebutkan, Indonesia sebagai sebuah negara yang memuat banyak sekali keberagaman yang terdiri dari keberagaman suku, bangsa, bahasa, adat istiadat dan agama, dewasa ini seringkali diterpa isu tentang radikalisme. Gerakan-gerakan yang mengatasnamakan kelompok tertentu ini semakin hari semakin tumbuh dan secara terang-terangan menyuarakan ideologi mereka. Aksi teror, penculikan, penyerangan, bahkan pengeboman pun kian marak terjadi.
“Dari berbagai macam keberagaman yang dimiliki negara Indonesia, keberagaman agama menjadi yang terkuat dalam membentuk radikalisme di Indonesia. Munculnya kelompok-kelompok ekstrem yang kian hari semakin mengembang sayapnya difaktori berbagai hal seperti sensitifitas kehidupan beragama, masuknya aliran kelompok ekstrem dari luar negeri, bahkan permasalahan politik dan pemerintahan pun turut mewarnai. Maka ditengah hiruk-pikuk permasalahan radikalisme ini, muncul sebuah istilah yang disebut Moderasi beragama,” tutur Afri tokoh pemuda Sumut ini.
Menurut Afri, kemajemukan di Indonesia tidak bisa hanya disikapi dengan prinsip keadilan, melainkan juga dengan prinsip kebaikan. Keadilan adalah keseimbangan dan ketidakberpihakan dalam menata kehidupan dengan asas hukum dan kepastian di dalamnya.
“Hukum bisa saja hanya menyentuh aspek permukaan dan tidak memenuhi rasa keadilan sesungguhnya, sehingga perlu ada sentuhan kebaikan. Keadilan adalah dimensi hukum, sedangkan kebaikan adalah dimensi etik. Dalam QS. al-Baqarah: 143, dijelaskan bahwa Allah menyatakan bahwa kaum muslimin dijadikan ummatan wasathan,” terang Afri.
Afri menambahkan, pada akhirnya menjadi moderat bukan berarti menjadi lemah dalam beragama. Menjadi moderat bukan berarti cenderung terbuka dan mengarah kepada kebebasan. Keliru jika ada anggapan bahwa seseorang yang bersikap moderat dalam beragama berarti tidak memiliki militansi, tidak serius, atau tidak sungguh-sungguh, dalam mengamalkan ajaran agamanya.
“Oleh karena pentingnya keberagamaan yang moderat bagi kita umat beragama, kita berharap Kerukunan disumatera utara baik dalam umat beragama maupun antarumat beragama adalah modal dasar bangsa ini menjadi kondusif dan maju,” pungkas Arif.
Sementara itu, Sekum PW JPRMI Sumut Ahmad Rosadi Rangkuti menambahkan, diskusi tersebut dihadiri sejumlah pengurus PW JPRMI Sumut, PD JPRMI Medan dan kecamatan. (Ayu).