JAKARTA, TOPKOTA.co – Pusat Monitoring Politik dan Hukum Indonesia (PMPHI) menilai, desakan 518 orang pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ditujukan kepada pimpinan lembaga antikorupsi tersebut, untuk segera mengangkat 75 orang pegawai yang tak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK), merupakan bentuk kekeliruan.
Selain itu, Ombudsman maupun Komnas HAM juga diharapkan menghormati proses seleksi tes wawasan kebangsaan tersebut. Soalnya, TWK itu dilaksanakan untuk mengikuti peraturan dalam perundang – undangan, yang menjadi kewajiban untuk dilaksanakan. Kedua lembaga ini tidak etis menuding pimpinan KPK sudah melakukan pelanggaran saat melaksanakan TWK sesuai Undang – undang.
Koordinator PMPHI Gandi Parapat menegaskan, desakan ratusan pengawai KPK itu tidak rasional, dan merupakan kekeliruan dan kebodohan. Selaku aparatur sipil negara yang lolos dalam tes kebangsaan, tuntutan pegawai KPK terhadap pimpinannya tersebut, tidak tepat sasaran, dan bahkan dapat dikategorikan melakukan pelanggaran tersebut.
“Integritas mereka yang mendesak pimpinan KPK untuk segera mengangkat 75 orang pegawai yang tidak memenuhi syarat (TMS) dalam tes wawasan kebangsaan tersebut, memang patut untuk dipertanyakan. Tanpa mereka sadari, mereka ingin menjebak pemerintah termasuk pimpinan KPK untuk melanggar UU dan Konstitusi Negara,” ujar Gandi Parapat, Selasa (17/8/2021).
Gandi menyampaikan, pimpinan KPK tidak mempunyai kewenangan dalam mengangkat 75 orang pegawai KPK yang tidak lolos dalam tes wawasan kebangsaan. Untuk mengangkat aparatur sipil negara (ASN) merupakan kewenangan penuh lembaga pemerintah, yaitu Badan Kepegawaian Negara (BKN). Sedangkan KPK hanya diberikan mandat untuk menjalankan amanat UU.
“Bangsa ini menjunjung tinggi penegakan hukum. Negara ini tidak bisa diatur oleh orang perorang maupun suatu kelompok tertentu. Itu salah dan keliru. Yang perlu kita pahami bersama, bahwa negara kita telah memilih, hukum sebagai landasan utama. Karenanya, semua harus dijalankan sesuai ketentuan. Keputusan hukum dianggap benar bila putusan hukum itu sendiri tidak menggugurkannya,” kata Gandi.
Gandi menegaskan, Indonesia merupakan negara hukum. Sehingga, hukum dijadikan sebagai panglima. Artinya, tidak boleh terjadi sesuatu di luar ketentuan hukum. Perlakuan yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum adalah bentuk perbuatan melanggar hukum itu sendiri. Tidak hanya pimpinan KPK, negara ini bisa dituding melakukan pelanggaran jika mengangkat orang yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan.
“Kita itu seharusnya lebih tunduk dengan ketentuan peraturan perundang – undangan yang mengatur tentang ASN dan KPK beserta peraturan perundangan turunannya. Mana ada ruang yang bisa dipakai untuk pegawai yang TMS untuk dilantik. Justru melantik pegawai yang TMS untuk menjadi ASN merupakan kekeliruan dan kebodohan, bahkan pelanggaran UU. Produk hukum bangsa ini sudah jelas,” ujar Gandi.
Gandi menyarankan pegawai KPK sebagai warga negara yang baik dan taat hukum, termasuk pihak TMS supaya mengundurkan diri tanpa syarat karena dinilai sudan tidak memenuhi syarat. Kalaupun ada keberatan, maka gunakan prosedur gugatan ke PTUN. Di situlah letak negara hukum. Bahwa hukum dijadikan panglima, dan bukan menjadikan opini sebagai panglima.
“Saya melihat ada upaya pihak tertentu untuk menggiring opini, supaya menimbulkan opini bahwa pimpinan KPK sudah melakukan pelanggaran. Termasuk tudingan dari pihak Ombudsman maupun Komnas HAM tentang maladministrasi dan pelanggaran HAM tersebut. Tuduhan itu sudah melampaui kewenangan BKN, sebab sebagai sesama lembaga negara, Ombudsman itu seharusnya tidak membuat kegaduhan,” ungkapnya.
Kembali pada desakan 518 orang pegawai KPk, menurut Gandi, bukan hanya sekali terjadi. Desakan ini sama dengan pola yang dilakukan ratusan pegawai KPK itu pada jauh hari sebelumnya. Saat itu, seluruh pegawai KPK itu menolak UU Nomor 19 Tahun 2019. Bahkan, ketika itu pegawai KPK sempat memberikan ultimatum, jika UU diberlakukan maka mereka akan mengundurkan diri.
“Setelah 1,5 tahun diberlakukan malah tidak ada yang mau mundur. Termasuk saat penbahasan pegawai KPK jadi ASN, mereka mengancam akan keluar dari KPK. Namun begitu proses peralihan berjalan, semua malah ikut tes. Mereka mengetahui semua itu, dan mereka tanda tangani kesanggupan,” ungkap Gandi sambil mengungkapkan, bahwa pegawai lembaga antirasuah itu membuat kesalahan lagi.
“Begitu diumumkan TMS untuk jadi ASN, mereka kembali bermanuver dengan meminta dukungan dengan dalih bahwa pegawai berintegritas disingkirkan. Kalau berintegritas maka begitu tahu TMS, maka otomatis keluar meninggalkan KPK.Sampai sekarang malah nggak ada yang mengundurkan diri. Ironisnya, sudah TMS pun, masih merengek – rengek dengan membuat laporan kemana – mana, supaya tetap dilantik. Nggak lulus, minta dilantik. Dimana integritasmu?. Hanya kepada Tuhan pegawai KPK belum membuat pengaduan. Jika dilaporkan pun belum tentu diterima Tuhan,” pungkas Gandi.
Gandi mengatakan, Ketua KPK Firli Bahuri tidak bisa mengikuti rekomendasi ORI dalam meloloskan 75 orang pegawai KPK yang TMS tersebut. Apakah benar LHP ORI terkait pengalihan pegawai KPK menjadi ASN? Apa merupakan kewajiban LHP ORI harus dilaksanakan? Apalagi, ORI merekomendasikan 75 pegawai yang TMS agar dialihkan menjadi ASN sebelum 30 Oktober 2021.
“Pimpinan KPK justru melakukan pelanggaran berat UU jika meluluskan 75 pegawai yang TMS agar dialihkan menjadi ASN. Rekomendasi ORI itu tidak serta merta menjadi kewajiban yang harus dilaksanakan. Jika dilaksanakan justru negara ini melanggar UU tersebut, dan bukan hanya KPK. Karena itu, laporan ORI itu dinilai bisa menjerumuskan lembaga negara melanggar UU,” jelas Gandi Parapat.
Oleh karena itu, Gandi Parapat menyarankan ORI maupun Komnas HAM untuk memberikan kesempatan kepada pimpinan KPK dalam menunggu putusan Mahkamah Agung (MA) terkait HUM Perkom KPK Nomor 1 Tahun 2021, tentang tatacara pengalihan pegawai KPK menjadi ASN. Di samping itu, KPK juga masih menunggu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait gugatan Pasal 69B dan 69 C tentang penyelidik dan penyidik adalah ASN.
“LHP ORI menyatakan bahwa Menpan, Jemenkumham, BKN, KPK, melakukan maladminidtrasi. Ini sangat aneh dan tidak berdasar. Bahkan semua keterangan ahli yang dimintai keterangan menyatakan bahwa apa yang dilakukan BKN dan KPK semuanya legal dan tidak ada yang keliru. Namun dalam kesimpulan ORI tidak sama sekali menggunakan keterangan para ahli dan para pihak terlapor,” tegasnya.
Menurut Gandi Parapat, kesimpulan LHP ORI yang merekomendasikan kepada KPK untuk mengalihkan pegawai yang TMS agar diangkat ASN sangat keliru. Soalnya, tidak ada ruang bagi pegawai yang TMS untuk diangkat menjadi ASN. Justru sebaliknya, pegawai KPK yang TMS harus diberhentikan. Sebab, pegawai KPK yang TMS tidak memenuhi syarat UU Nomor 19 Tahun 2019.
“Dalam UU Nomor 19 Tahun 2019 itu menyatakan bahwa pegawai KPK adalah Aparatur Sipil Negara dan Pegawai yang TMS tidak memenuhi syarat, sebagaimana Pasal 5 dan harus diberhentikan karena tidak memenuhi syarat sebagai ASN, sebagaimana Pasal 23 Perkom KPK Nomor 1 Tahun 2021,” pungkas Gandi Parapat. (red)